Tiga Kaidah Penting Berkaitan dengan Pembatal Iman (Bag. 1)
Di antara ilmu dasar yang wajib diketahui oleh seorang muslim adalah ilmu yang berkaitan dengan pembatal-pembatal iman. Dengan ilmu tersebut, seorang muslim akan senantiasa menjaga ucapan dan perbuatannya dari hal-hal yang dapat membatalkan keimanannya. Demikian pula, dengan memahami kaidah-kaidah yang terkait dengan pembatal iman, kita dapat bersikap kepada sesama muslim dengan ilmu dan metode yang benar.
Dalam tulisan kali ini, kami akan menyampaikan tiga kaidah penting yang wajib kita ketahui berkaitan dengan pembatal iman.
Kaidah pertama: Hukum asal seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah seorang muslim
Para ulama kita telah bersepakat bahwa hukum asal orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah dia seorang muslim. Inilah keyakinan kita terhadap status orang tersebut. Jika telah diketahui dengan yakin bahwa kondisi seseorang itu seorang muslim, maka tidak boleh dikeluarkan dari status muslim (menjadi kafir) kecuali atas dasar keyakinan pula. Jika kita hanya ragu-ragu status kafirnya, maka wajib dikembalikan kepada hukum asal, yaitu masih muslim. Keraguan tersebut wajib ditolak dan tidak boleh divonis kafir.
Oleh karena itu, kita berinteraksi (bermuamalah) kepada orang-orang yang menampakkan keislaman dengan bentuk muamalah yang sesuai dan yang seharusnya kita tunjukkan kepada sesama kaum muslimin. Contoh, jika ada seorang muslim yang meninggal dunia dan didatangkan ke perkampungan muslim untuk dishalati, maka wajib dishalati. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh sebagian orang ketika mereka enggan untuk menshalati jenazah saudaranya, sampai dia betul-betul mengetahui kondisi jenazah tersebut masih muslim, maka ini adalah sikap yang tidak benar dan tidak ada tuntunannya.
Contoh lainnya, jika kita bertamu ke seorang muslim dan dihidangkan daging sembelishan, maka hukum asal daging sembelihan tersebut adalah halal. Kita tidak boleh menganggap haram karena keraguan jangan-jangan tidak disembelih sesuai syariat Islam, dan keraguan-keraguan lainnya. Sebuah kekeliruan ketika mengharamkan sembelihan sesama kaum muslimin sampai kita betul-betul mengetahui dan yakin bahwa dia muslim dan tidak batal imannya. Ini sikap yang keliru, karena berarti dia ragu dengan status muslim saudaranya yang secara lahiriyah adalah seorang muslim.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan manhaj ahlus sunnah dalam masalah ini,
وَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يُكَفِّرَ أَحَدًا مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ أَخْطَأَ وَغَلِطَ حَتَّى تُقَامَ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ وَتُبَيَّنَ لَهُ الْمَحَجَّةُ وَمَنْ ثَبَتَ إسْلَامُهُ بِيَقِينِ لَمْ يَزُلْ ذَلِكَ عَنْهُ بِالشَّكِّ؛ بَلْ لَا يَزُولُ إلَّا بَعْدَ إقَامَةِ الْحُجَّةِ وَإِزَالَةِ الشُّبْهَةِ
“Tidak boleh atas siapa pun untuk mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin, meskipun dia salah dan keliru, sampai ditegakkan hujjah (argumentasi) atasnya dan dijelaskan kepadanya jalan yang benar. Siapa saja yang status keislamannya telah ditetapkan atas dasar keyakinan, maka tidak boleh dikeluarkan dari status muslim hanya berdasar keragu-raguan. Bahkan, tidak boleh dikeluarkan (dari status muslim) kecuali setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat (pemikiran-pemikiran yang rancu).” (Majmuu’ Al-Fataawa, 12: 466)
Beliau kembali menegaskan di tempat yang lainnya,
وَمَنْ ثَبَتَ إيمَانُهُ بِيَقِينِ لَمْ يَزُلْ ذَلِكَ عَنْهُ بِالشَّكِّ
“Siapa saja yang status keimanannya telah ditetapkan atas dasar keyakinan, maka tidak boleh dikeluarkan dari status muslim hanya berdasar keragu-raguan.” (Majmuu’ Al-Fataawa, 12: 501)
Begitu pula yang disampaikan oleh Ibnu Nuhaim Al-Hanafi rahimahullahu Ta’ala,
وَمَا يَشُكُّ أَنَّهُ رِدَّةٌ لَا يَحْكُمُ بِهَا إذْ الْإِسْلَامُ الثَّابِتُ لَا يَزُولُ بِشَكٍّ
“Barangsiapa yang ragu apakah seseorang telah keluar dari Islam, maka keraguan ini tidak dianggap. Karena status Islam yang ada pada dirinya tidak boleh dihilangkan dengan keraguan.” (Al-Bahru Ar-Raa’iq, 5: 134)
Dalil kaidah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu,
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ، قَالَ: فَصَبَّحْنَا القَوْمَ فَهَزَمْنَاهُمْ، قَالَ: وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ رَجُلًا مِنْهُمْ، قَالَ: فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، قَالَ: فَكَفَّ عَنْهُ الأَنْصَارِيُّ، فَطَعَنْتُهُ بِرُمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ، قَالَ: فَلَمَّا قَدِمْنَا بَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ: فَقَالَ لِي:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami dalam sebuah pasukan perang untuk menyerang orang-orang kafir Bani Huraqah, dari suku Juhainah. Kami menyerang mereka di waktu pagi dan kami pun mengalahkan mereka. Saya dan salah seorang sahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika kami mengepungnya, tiba-tiba dia mengucapkan ‘laa ilaaha illa Allah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Sahabat Anshar itu pun menahan dirinya (tidak jadi membunuhnya, pen.). Adapun saya, saya menusuk orang tersebut dengan tombakku sampai saya menewaskannya.”
Usamah bin Zaid melanjutkan ceritanya, “Ketika kami tiba di Madinah, berita tersebut sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bertanya kepadaku,
يَا أُسَامَةُ، أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Wahai Usamah, apakah Engkau tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illa Allah?”
Saya (Usamah) menjawab,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا
“Wahai Rasulullah, dia mengucapkannya sekedar untuk melindungi dirinya.”
Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap bertanya,
أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Apakah Engkau tetap membunuhnya setelah dia mengucapkan laa ilaaha illa Allah?”
Saya (Usamah) berkata,
فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ، حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ اليَوْمِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga saya berangan-angan andai saja saya belum masuk Islam sebelum hari itu.” (HR. Bukhari no. 6872)
Dalam riwayat Muslim disebutkan, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Usamah,
أَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَقَتَلْتَهُ؟
“Mengapa Engkau membunuh orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah?”
Usamah menjawab,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia hanyalah mengucapkannya karena takut dengan pedang.”
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟
“Apakah Engkau telah membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan dua kalimat syahadat atau tidak?”
Usamah berkata,
فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus mengulang-ulang pertanyaan itu, sehingga saya berandai-andai bahwa saya baru masuk Islam saat itu.” (HR. Bukhari no. 6872)
Marilah kita renungkan kisah Usamah radhiyallahu ‘anhu di atas. Ada seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dengan ucapan dan kesaksiannya itu, dia masuk Islam. Akan tetapi, terdapat indikasi yang menunjukkan keragu-raguan tentang kejujuran ucapannya itu. Karena orang ini belum lama adalah orang kafir yang telah membunuh kaum muslimin dan dia pun melarikan diri. Ketika dia tertangkap dan hampir dibunuh, dia sudah melihat kilatan pedang di atas kepalanya, maka dia pun mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan dengan persaksian itu, dia juga tidak membatalkan keimanannya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mencela dan mengingkari Usamah yang telah membunuhnya.
Ini adalah kaidah penting bagi seorang muslim agar selamat dari penyakit bermudah-mudah dan ceroboh dalam memvons kafir (takfir) sesama muslim.
[Bersambung]
***
@Sint-Jobskade 718 NL, 18 Syawwal 1439/ 2 Juli 2018
Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Disarikan dari kitab Al-Ilmaam bi Syarhi Nawaaqidhil Islaam li Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, karya Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhaili hafidzahullah, hal. 9-10.
🔍 Hadits Tentang Merapatkan Shaf, Hikmah Dari Sakit, Kewajiban Suami Terhadap Istri, Keutamaan Orang Yang Memiliki Ilmu, Fadhilah Puasa Ramadhan
Artikel asli: https://muslim.or.id/41190-tiga-kaidah-penting-berkaitan-dengan-pembatal-iman-bag-1.html